SWABAKAR (SPONTANEOUS COMBUSTION)
SWABAKAR (SPONTANEOUS COMBUSTION)
Bagi banyak perusahaan tambang batubara, merupakan
masalah besar ketika stock batubara
yang berada pada stockpile mereka
mengalami swabakar (spontaneous
combustion). Jika hal ini terjadi, akan mempengaruhi turunnya kualitas
batubara dan tidak dapat dijual kekonsumen, bahkan jika proses ini dibiarkan
terjadi, batubara yang berada pada stockpile
akan habis terbakar.
Menurut Mulyana, hana (2005) mengatakan bahwa Spontaneous combustion atau disebut juga self combustion adalah salah satu fenomena yang terjadi pada
batubara pada waktu batubara tersebut disimpan atau di storage / stockpile dalam jangka waktu tertentu. Proses spontaneous combustion diketahui dari proses self heating atau pemanasan dengan sendirinya yang berasal dari
oksidasi atau suatu reaksi kimia dari suatu mineral didalam batubara itu
sendiri.
Menurut Falcon, R.M (1986) menyebutkan spontaneous combustion pada semua batubara terjadi akibat kontak
atmosfir (udara) yang secara cepat atau lambat menunjukkan tanda-tanda oksidasi
dan pelapukan dengan resultan penurunan konten kalori, volatile matter, dan terjadinya swelling
capacities. Reaksi eksotermis yang menghasilkan panas apabila tidak hilang
akan mencapai suhu inisiasi yang pada akhirnya membentuk titik api pada hot spot batubara. Reaksi spontaneous combustion dapat digambarkan
sebagai berikut :
Menurut Sukandarrumidi (2008), proses spontaneous combustion mengalami proses bertahap yang dijelaskan
sebagai berikut :
1.
Mula-mula
batubara akan menyerap oksigen dari udara secara perlahan- lahan dan kemudian temperatur udara akan naik.
2.
Akibat
temperatur naik kecepatan batubara menyerap oksigen dan udara bertambah dan temperatur
kemudian akan mencapai 100oC – 140oC.
3.
Setelah mencapai temperatur 140oC,
uap dan CO2 akan terbentuk sampai temperatur 230oC, isolasi CO2 akan berlanjut.
Bila temperatur telah berada di atas 350oC, ini berarti batubara telah mencapai titik sulutnya dan akan cepat
terbakar.
Ada beberapa teori yang mengungkapkan proses terjadinya suatu spontaneous combustion, tentu saja
teori-teori ini berdasarkan pengalaman atau percobaan dari penemunya. Dari
teori-teori tersebut ada empat teori utama yang menjelaskan
fenomena spontaneous combustion secara lebih luas yaitu ;
1. Teori Pyrite Besi disulfida (FeS2) berada didalam
batubara dalam dua bentuk yaitu ; cubic yellow pyrite (density
5.2) dan rhombic marcasite (density sekitar 4.8)(coward,
1957). Marcasite diketahui lebih reaktif terhadap oksigen dibanding
dengan pyrite. Meskipun kemudian Li dan Parr (1926) menemukan bahwa kedua
bentuk pyrite tersebut memilikirate oksidasi yang relatif
sama. Pyrite memberikan kontribusi pada terjadinya oksidasi batubara
lebih besar dalam bentuk partikel kecil, sedangkan pada partikel yang relatif
lebih besar rate oksidasinya akan lebih rendah. Nilai panas dari
oksidasi pyrite ini ditentukan oleh Lamplough and Hill (1912 –13)
yang menemukan nilai rata-rata 13.8 J/ml oksigen yang dikonsumsi. Meskipun
terdapat beberapa perbedaan mengenai peran pyrite didalam spontaneous
combustion, namun sekarang dapat diterima secara umum bahwa :
a. Panas yang dihasilkan dari
oksidasi pyrite ikut membantu pada terjadinya oksidasi batubara.
b. Oksidasi pyrite menjadi ferrous
sulphate menyebabkan disintegrasi dari batubara sehingga memperluas dareah
permukaan batubara untuk terjadinya oksidasi.
Persamaan reaksi berikut
menggambarkan reaksi oksidasi pyritedidalam batubara (Schmidt, 1945) ; 2 FeS2 + 7 O2 + 16 H2O 2 H2SO4 + 2 FeSO4. 7H2O
Akan
tetapi Miyagawa (1930) menyatakan bahwa persamaan reaksi
oksidasi pyrite tidak seperti persamaan reaksi diatas , melainkan
mengikuti persamaan reaksi seperti di bawah ini
FeS2 + 3 O2 2 FeSO4 + SO2
Dia menyatakan bahwa Sulfur dioksida
yang dihasilkan dari reaksi oksidasi tersebut kemudian diadsorpsi kuat oleh
permukaan pyrite sehingga mencegah reaksi oksidasi lebih lanjut.
Hilangnya gas ini dari permukaan pyritetersebut karena air, menyebabkan
terjadinya reaksi oksidasi lanjutan.Untuk alasan inilah dia mengklaim bahwa
batubara yang mengandung banyak pyritelebih besar kecenderungannya untuk
terjadi spontaneous combustion apabila disimpan dalam keadaan basah
atau lembab.
2. Teori “coal oxygen” atau teori
kompleks adalah Pembentukan sebuah “coal-oxygen” kompleks selama oksidasi batubara pada
temperatur rendah dinyatakan oleh sejumlah peneliti terdahulu seperti Wheeler
(1918), Davis & Byrne (1925), dan terakhir Schmidt (1945).Teori ini
menyatakan bahwa adsorpsi oksigen terjadi pada temperatur rendah, tahap ini
merupakan tahap awal yang merupakan adsorpsi secara fisik. Tahap ini berlanjut
dengan pembentukan komplek oksigen yang mengandung bentuk oksigen yang aktif
yang disebut “per-oksigen”. Tahap ini disebut tahap Chemisorption.
Kemudian proses ini dilanjutkan pada tahap reaksi per-oksigen tersebut dengan
batubara dimana CO, CO2 dan H2O dihasilkan oleh dekomposisi dari
per-oksigen tersebut. Secara singkat tahapan dari teori ini dapat
disederhanakan menjadi ;
a.
Adsorpsi
oksigen secara fisik
b.
Tahap Chemisorption; pembentukan sebuah komplek yang
mengandung oksigen aktif yang disebut ”per-oksigen”
c.
Reaksi kimia cepat dimana CO, CO2 dan H2O dihasilkan oleh
dekomposisi dari per- oksigen
tersebut.
3. Teori Humidity adalah Batubara akan bereaksi dengan oksigen
diudara segera setelah batubara tersebut terekspose selama penambangan.
Kecepatan reaksi ini lebih besar terutama pada batubara golongan rendah
seperti lignit dan sub-bituminus. Sedangkan pada golongan
batubara bituminus keatas atau high rank coal, oksidasi ini baru
akan tampak apabila batubara tersebut sudah diekspose dalam jangka waktu yang
sangat lama. Apabila temperatur batubara terus meningkat yang disebabkan
oleh self heating, maka ini perlu ditangani dengan serius karena ini
akan berpengaruh terhadap nilai nilai komersial dari batubara tersebut, selain
itu ini akan mengakibatkan pembakaran spontan batubara yang sangat tidak kita
inginkan karena akan merugikan dan juga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Akan tetapi untunglah pada temperatur
normal kecepatan oksidasi ini kecil sekali, bahkan cenderung menurun selang
dengan waktu. Dengan demikian resiko penurunan kualitas karena oksidasi ini
masih bisa diterima dalam perioda waktu pengiriman yang normal ( 8 jam – 8
minggu ). Oksidasi yang dimaksud diatas adalah oksidasi yang tidak diikuti
dengan pembakaran spontan atau oksidasi pada temperatur rendah. Akan tetapi
apabila disimpan dalam jangka waktu lama di stockpile penurunan
kualitas akibat ini biasanya tidak dapat diterima karena selain penurunan
kualitas secara kimia juga akan terjadi penurunan kualitas secara fisik
terutama terjadi pada batubara golongan rendah atau low rank coal .
4. Teori Bakteri adalah karena aktifitas bakteri dianggap
dapat menyebabkan terjadinya spontaneous combustion, banyak peneliti
melakukan penelitian peran bakteri ini dalam pembakaran spontan batubara.
a. Coward (1957) mereview 6
referensi penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang berbeda antara 1908 and
1927. Empat dari penelitian tersebut jelas terbukti bahwa bakteri mampu hidup
dalam batubara dan dalam beberapa kasus bakteri dapat menaikan temperature
batubara
b. Akan tetapi, Graham (1914
-15) menemukan bahwa batubara yang disterilkan dan batubara yang tidak
disterilkan memiliki rate oksidasi yang sama, dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa mekanisme oksidasi batubara tidak melibatkan aktifitas bakteri.
Kesimpulan yang sama dinyatakan oleh Winmill (1914-15), dan Scott
(1944) bahwa self heatingyang terjadi pada batubara bukan karena
keberadaan bakteri dalam batubara tersebut.
Pengalaman atau fakta dilapangan
menunjukan bahwa pembakaran spontan batubara terjadi apabila
mengikuti kriteria berikut ini:
a. Batubara telah lama disimpan atau
di stockpile terbuka terlalu lama baik crushed
coal maupun raw coal tanpa pemadatan
b. Dimensi ukuran, sudut
kemiringan, maupun bentuk stockpileyang tidak memenuhi standar
c. Kecepatan angin yang
menerpa stockpile
d. Banyaknya mineral pengotor yang ikut
tertumpuk padastockpile
e. Ketidakseragaman ukuran butir
batubara
f. Sistem saluran air (drainase)
pada stockpile yang tidak sesuai kriteria.
g. Pengabaian terjadinya pemisahaan
ukuran partikel batubara(coarse dan fine coal).
5.
reaksi oksidasi berlangsung terus-menerus, maka panas yang
dihasilkan juga akan meningkat, sehingga dalam timbunan batubara juga akan
mengalami peningkatan. Peningkatan suhu ini juga disebabkan oleh sirkulasi
udara dan panas dalam timbunan tidak lancar, sehingga suhu dalam timbunan akan
terakumulasi dan naik sampai mencapai suhu titik pembakaran (self
heating), yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya proses swabakar pada
timbunan tersebut.
Sebelum mengalami swabakar batubara akan mengalami proses
oksidasi yang merupakan proses inisiasi dari swabakar apabila proses oksidasi
ini diikuti dengan meningkatnya temperatur terus menerus yang akhirnya
mengakibatkan terjadinya pembakaran spontan. Batubara akan bereaksi dengan
oksigen di udara segera setelah batubara tersebut tersingkap selamapenambangan.
Kecepatan reaksi ini lebih besar terutama pada batubara golongan rendah seperti
lignite dan sub-bituminus, sedangkan pada golongan batubara bituminus keatas
atau, oksidasi ini baru akan tampak apabila batubara tersebut sudah tersingkap
dalam jangka waktu yang cukup lama. Apabila temperatur batubara terus meningkat
yang disebabkan oleh self heating, maka ini perlu ditangani dengan serius
karena ini akan berpengaruh terhadap nilai komersial batubara tersebut, selain
itu akan mengakibatkan pembakaran spontan batubara yang sangat tidak diinginkan
karena akan merugikan.
Pada temperatur normal kecepatan oksidasi ini kecil sekali,
bahkan cenderung menurun selang dengan waktu, dengan demikian resiko penurunan
kualitas karena oksidasi ini masih bisa diterima dalam periode waktu pengiriman
(8 jam – 8 minggu). Oksidasi yang dimaksud diatas adalah oksidasi yang tidak
diikiuti dengan pembakaran spontan atau oksidasi pada temperatur rendah, akan
tetapi apabila disimpan dalam jangka waktu lama di stockpile penurunan kualitas
akibat ini biasanya tidak dapat diterima. Karena selain penurunan kualitas
secara kimia juga terjadi penurunan kualitas secara fisik terutama terjadi pada
batubara golongan rendah atau low rank coal.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa penyebab awal
terjadinya pembakaran spontan adalah reaksi oksidasi yang terjadi dengan
sendirinya dalam batubara, yang mengakibatkan pemanasan dengan sendirinya yang
selanjutnya akan mengakibatkan pembakaran spontan apabila tidak terkontrol.
Pembakaran spontan adalah merupakan fenomena alami dan juga disebut pembakaran
sendiri (self combustion). Hal ini disebabkan terjadinya reaksi zat organik
dengan oksigen dari udara. Kecepatan reaksi oksidasi sangat bervariasi antara
suatu zat dengan yang lainnya. Batubara akan mengalami pemanasan dengan
sendirinya kapan pun dan dimana pun apabila batubara tersebut disimpan dalam
bentuk bulk (tumpukan dalam jumlah besar) di stockpile. Self
heating disebabkan oleh oksidasi pada permukaan batubara yang kontak
dengan oksigen di udara. Sebenarnya panas yang dihasilkan dapat terhilangkan
dengan distribusi panas keseluruh batubara atau ke udara dengan penguapan moisture
batubara tersebut.
Pembakaran
akan terjadi apabila :
1.
Adanya
bahan bakar (fuel)
2.
Adanya
oksidan (udara / oksigen)
3.
Adanya
panas (heat)
Ada beberapa tindakan pencegahan dan penanggulangan yang bisa dilakukan, yaitu :
1.
Tindakan Preventive adalah tindakan
pencegahan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya self combustion/terbakar
dengan sendirinya. Tindakan tersebut adalah :
a.
Batubara tersebut kami bentuk seperti kerucut, Hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan
terjadinya longsor. Karena apabila kami bentuk setengah kerucut yang berarti
ada bagian yang rata diatas tumpukan batubara maka apabila terjadi hujan dapat
membuat genangan air dan akhirnya batubara akan terkikis dan menjadi longsor
karena aliran air hujan.
b.
Bagian tepi kami padatkan menggunakan bucket
excavator, Pemadatan
tersebut bertujuan untuk mengurangi ruang kosong yang timbul dalam tumpukan
batubara karena celah antar batubara. Dengan memadatkan berarti batubara akan
memiliki lebih sedikit ruang kosong yang berisi udara/oksigen/O2 dimana
terjadinya kebakaran salah satu faktornya adalah Oksigen (O2). Apabila tidak
memiliki ruang kosong maka hawa panas yang keluar dari batubara akan relative
stabil dan tertahan didalam dengan tidak
menimbulkan kebakaran.
c.
Menggunakan cairan kimia, Cairan yang kami maksud adalah produk
untuk coal treatment yang memiliki fungsi berbeda – beda :
1)
Outodust/Vinasol adalah Produk ini dapat mencegah self
combustion selama ± 21 hari
2)
Focustcoat adalah Produk ini dapat mencegah self combustion selama ± 60 hari
3)
Hydrosol adalah Produk ini
dapat mencegah self combustion selama ± 75 hari
4)
Suppressol adalah Produk ini
adalah untuk dust control atau mencegah debu/ash yang muncul dari batubara
Pada perusahaan kami, cairan kimia yang kami gunakan adalah
Hydrosol. Cairan tersebut kami campurkan dengan air dengan perbandingan 1:40
dimana 1 (satu) liter Hydrosol kami campurkan dengan 40 (empat puluh) liter air. Luasan penggunaan
Hydrosol adalah 1:10, dimana 1 (satu) liter Hydrosol untuk 10 (sepuluh) ton
batubara. Kemudian campuran tersebut kami tempatkan dalam drum dan kami
semprotkan ke batubara dengan menggunakan alkon dengan ujung pipa output
(setelah disambung dengan slang/hose
karet) kami persempit sehingga akan menghasilkan output seperti hujan.
Proses penyemprotan itu kami lakukan ke seluruh permukaan batubara sebanyak 2
lapis/layer dan kami lakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali.
d.
Pemeriksaan temperature rutin, Pemeriksaan tersebut kami lakukan
untuk mengukur suhu panas permukaan batubara. Apabila kita menemukan titi
permukaan yang terasa panas maka kami akan buatkan lobang dengan menggunakan
pipa besi sedalam ± 1 meter untuk mengeluarkan hawa panas batubara. Lobang
tersebut kami biarkan selama ± 1 jam dan akan kami tutup dan padatkan kembali. Proses
pembuatan lobang ini kami lakukan pada sore hari disaat matahari sudah tidak
menyengat atau pada malam hari apabila samapi pada sore hari matahari masih
bersinar.
e.
Volcano Trap, Istilah ini kami pakai untuk membuang asap yang muncul
dari dalam tumpukan batubara. Tidak semua asap yang keluar dari tumpukan
batubara adalah karena telah terjadi self combustion tetapi lebih karena suhu
di dalam tumpukan batubara yang panas tetapi lapisan luar tumpukan batubara
dingin karena terjadinya hujan, atau karena embun. Asap yang keluar dapat kita
cium dari banunya untuk mengindikasi apakah terjadi karena terbakar ataukan
karena hawa panas. Apabila asap yang keluar berbau belerang dan menyengat serta
berwarna putih pekat maka berarti telah terjadi batubara yang terbakar, tetapi
apabila asap yang muncul tidak berbau menyengat dan berwarna putih transparan
maka hanya terjadi karena hawa panas. Apabila asap karena hawa panas maka yang kami
lakukan hampir sama dengan point 4. Hanya saja kami buatkan lubang di sumber
asap keluar sedalam sekitar 50 cm untuk mengeluarkan hawa panas tersebut dan
kami biarkan selama sekitar 1 jam kemudaian kami tutup dan padatkan kembali.
Apabila asap karena terjadi kebakaran, pada point B akan kita bahas lebih
detail.
f.
Pembuatan Parit, Dilakukan
pada sekitar tumpukan batubara dengan kedalaman ± 1 meter dan kita alirkan pada
saluran pembuangan yang menuju settling pond. Hal tersebut bertujuan untuk
mengurangi jumlah air yang terdapat dalam tumpukan batubara yang terjadi karena
hujan akan mengalir ke parit dari batubara ataupun melewat celah-celah tanah.
Hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi kadar TM (Total Moisture).
2. Tindakan
Burnout adalah tindakah yang
diambil untuk memadamkan batubara yang sudah terbakar karena self combustion.
Batubara yang terbakar memiliki beberapa ciri, yaitu :
o
Asap
berwarna putih pekat, berbau belerang dan menyengat. Hal ini terjadi apabila
batubara yang terbakar belum menycapai permukaan dan masih terjadi di dalam
tumpukan batubara
o
Permukaan
berwarna kuning emas, berasap dan panas tentunya. Ini terjadi apabila kebakaran
sudah mencapai permukaan yang berarti kebakaran sudah luas dan dalam.
Untuk tindakan pemadaman dapat dilakukan dalam beberapa tahap agar
tidak meluas,
yaitu:
a.
Pembuatan lobang, hal ini dilakukan apabila kebakaran
masih berupa asap sehingga kita akan membuat lobang untuk mencari sumber api.
Perlu diingat bahwa dalam pembuatan lobang apabila ditemukan batubara yang
berwarna kuning atau sudah menjadi debu berwarna emas atau kuning tua maka itu
harus dibuang jauh dari tumpukan batubara karena dapat mengkontaminasi batubara
lainnya menjadi ikut terbakar.
b.
Pembuangan debu, hal ini dilakukan apabila kebakaran
sudah terjadi sampai ke permukaan. Pembuangan debu dari sisa batubara yang terbakar
harus dilakukan pelan-pelan agar tidak terbang dibawa angin dan akan
mengkontaminasi batubara lainnya sehingga akan memunculkan potensi terbakar.
Pembuang debu sampai dengan ditemukannya batubara yang sudah menjadi bara api
c.
Pengambilan bara api, setiap terjadinya kebaran pasti ada
sumbernya yang berupa bara api. Langkan awal adalah kita memadamkan adalah
dengan mengambil dan membuang sumber kebakaran yaitu batubara yang sudah
berubah menjadi bara api tersebut kita buang dengan menggunakan skop.
d.
Penggunaan Detergent penggunaan detergent ini boleh apa saja yang penting
dia berupa serbuk dan berbusa. Detergent tersebut disebarkan dalam lubang yang
sudah kita buat kemudian kita semprot dengan air agar berbusa. Busa inilah yang
akan mendinginkan hawa panas (hampir sama
fungsinya dengan foam pada APAR).
Referensi
Sukandarrumidi.(2008).
Batubara dan Gambut. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta
Mulyana Hana, 2005, “Kualitas Batubara
dan Stockpile Management”, PT
Geoservices, LTD, Yogyakarta.
Label: TEKNIK PERTAMBANGAN